WAJAH BARU PENDIDIKAN ERA POLITIK
Muhammad Ridwan, S.Pd., M.Pd
Akademisi Muda
Memasuki paroh dekade usia kermedekaan bangsa Indonesia hingga di penghujung tahun 2020, bangsa ini belum berhasil menuntaskan formnulasi tentang satu sistem pendidikan nasional yang disepakati secara permanen oleh seluruh komponen bangsa Indonesia. Indikator belum adanya konsensus yang permanen tentang formulasi sistem pendidikan nasional secara fenomenal dapat dibaca dari munculnya sikap pro dan kontra yang sangat luas menjelang disyahkannya Undang-Undang Republik Indonesia NO. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Persoalan tersebut jika dilacak lebih jauh akan sampai pada akar persoalan belum stabilnya bangunan sistem politik nasional (floating state) yang menjadi payung bagi sistem pendidikan nasional.
Mengikuti alur logika berfikir seperti ini, maka kerja intelektual untuk mengikhtiarkan bagi hadirnya suatu model pendidikan politik yang mampu melahirkan suatu tipe warga negara yang mampu memberikan kontribusi bagi tercapainya suatu konsensus nasional permanen bagi lahirnya suatu sistem politik nasional adalah merupakan sebuah keniscayaan sekaligus langkah strategis untuk terwujudnya konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Menurut Fraser (1999), pandangan manusia tentang politik dibagi kedalam tiga kelompok.
Pertama, politik identik dengan kekuasaan.
Kelompok ini lebih menitikberatkan pada analisis kekuasaan atau sistem pemerintahan. Pendidikan politik dipahami dalam pengertian pembelajaran demokrasi, yakni berkaitan dengan cara-cara yang absah (demokratis) untuk menyelematkan, menata, memengaruhi kekuasaan politik (political power), termasuk juga beroposisi dengan kekuasaan.
Kedua, politik ialah sirkulasi kekuasaan (politik) atau kekuatan ekonomi.
Untuk mendapatkan kekuasaan (politik atau ekonomi), kita tidak dapat menghindar diri dari perebutan (kompetisi). Untuk itu, aturan main berpolitik perlu ditegakkan sehingga konflik yang muncul sebagai akibat kompetisi atau perebutan kekuasaan dapat dikelola dan menjadi kekuatan untuk membuat kehidupan dinamis. Dalam sistem yang demokratis, terdapat beberapa cara atau media yang absah, seperti partai politik, kelompok penekan (terhadap) legislatif dan pemerintah, petisi, dan demonstrasi.
Ketiga, kelompok kritis mengusung pendapat bahwa politik ialah gerakan pembebasan individu dan masyarakat dari ketidakadilan sosial dan struktural. Kekuasaan yang ada dalam relasi interpersonal merupakan isu yang menurut norma keadilan perlu dikritisi dan menjadi dasar dari gerakan perubahan (revolusi dan reformasi).
Prospek pendidikan politik akan sangat dipengaruhi oleh hadirnya Pendidikan Politik yang mampu melahirkan warga negara yang memiliki budaya politik baru, gagasan inovatif, memiliki sikap kritis pada kinerja sistem politik nasional, serta memiliki loyalitas pada hasil konsensus nasional, di negara yang bernama Indonesia baru.
Cita-cita tersebut memerlukan kerja keras dan sistemik serta waktu beberapa generasi untuk mewujudkannya, sebagaimana dialami oleh bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu meraih kemerdekaannya. Paparan dalam tulisan ini akan mencermati dan menganalisis prospek Pendidikan Politik sebagai bagaian yang tak terpisahkan dari reformasi politik nasional yang include didalamnya juga refomasi sistem pendidikan nasional.
Dilihat dari perspektif politik rumusan tentang konsepsi sistem pendidikan nasional dan include didalamnya Pendidikan Kewarganegaraan adalah merupakan produk dari kebijakan politik dari suatu sistem politik. Dalam konteks keterkaitan antara sistem pendidikan nasional dengan sistem politik Indonesia yang menarik dipertanyakan lebih jauh adalah sistem pendidikan nasional di Indonesia tersebut dirumuskan ulang ditengah berlangsungnya refomasi politik yang sudah berlangsung memasuki satu dasawarsa (1998).
Merujuk pada gagasan besar demokrasi lebih khusus lagi perspektif tentang (civil society), seharusnya rakyatlah yang memiliki otonomi untuk mengarahkan wacana dan memiliki kata putus tentang bentuk sitem politik nasional termasuk didalamnya tentang sistem pendidikan nasional yang disepakati oleh rakyat.
Negara sebenarnya tidak memiliki wewenang untuk mengajari kepada rakyatnya (yang lebih sering menjadi proses hegomonisasi) nilai-nilai – prinsip-prinsip kehidupan yang secara elitis dianggap baik. Kegagalan negara Indonesia melalui regim yang berkuasa untuk mengajari rakyatnya melalui P4 misalnya selama kekuasaan Orde Baru memberikan bukti yang kuat akan kebenaran proposisi diatas.
Komentar
Posting Komentar