HUKUM dan KEADILAN SOSIAL DIMASA PANDEMI COVID-19
MUHAMMAD RIDWAN, S.Pd., M.Pd
(Sekretaris Komisi Hukum, HAM dan Advokasi PDPM KUKAR)
Indonesia adalah negara hukum yang konsepnya harus disesuaikan dengan Pilar Pancasila sebagai dasar bernegara. Jadi Indonesia dikatakan sebagai negara hukum sebagaimana dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 yang berbunyi: Negara Indonesia adalah negara hukum.
Hal ini diterangkan oleh negara agar segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan, kenegaraan dan bahkan lingkaran kepemerintahan harus senantiasa berperilaku berdasarkan atas hukum yang berlaku sebagai bentuk dari penegakan supermasi hukum tertinggi.
Supremasi hukum berfungsi untuk melindungi setiap warga negara tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun, termasuk penyelenggara negara dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.
Inilah norma yang melindungi hak asasi warga negara. Kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah tanpa memandang tahta dan jabatan.
Dilihat dari penjabaran diatas penulis ingin menganalisis tentang perilaku hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai telaah kritis terhadap Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Beberapa tahun terakhir ini hampir semua media sosial diwarnai oleh kabar buruk dimana beberapa pejabat penting negara tertangkap melakukan tindakan korupsi dimasa pandemi.
Sebagian besar rentetan nama para mantan pejabat negara antara lain mantan Bupati Sidoarjo, Jawa Timur, Saiful Ilah dalam lelang proyek Jalan Candi-Prasung Rp 21,5 miliar, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Wahyu Setiawan diduga meminta uang hingga Rp 900 juta ke Harun, mantan Bupati Kutai Timur (Ismunandar dan istrinya), menteri Sosial (Juliari Batubara) menerima suap lebih sebanyak Rp 32,2 miliar, mantan menteri Kelautan dan Perikanan (Edhy Prabowo) menerima uang suap yang totalnya mencapai Rp 25,7 miliar dari pengusaha eksportir benih bening lobster (BBL) atau benur, mantan Jaksa (Pinangki Sirna Malasari) pencucian uang dengan total 375.229 dollar AS atau setara Rp 5,25 miliar. dan (Djoko Djandra) mengeksekusi uang Rp 546 miliar dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.
Kalau diintip dari penjabaran Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan ‘Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200 juta rupiah dan paling banyak Rp. 1 milyar.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana dengan hukuman mati.
Penulis menelaah aturan tersebut diatas sudah jelas harus dijalankan oleh KPK sebagai lembaga yang mengawasi keadilan hukum diruang lingkup Tipikor penulis mengatakan hal demikian sebagai bentuk ketaatan warga negara terhadap keadilan hukum.
Realitas yang terjadi para koruptor justru mendapatkan diskon hukuman dari negara berupa skorsing masa tahanan dengan berbagai macam alasan sebagai dalil penguatan atas perilaku yang dibuat.
Kita melihat beberapa kasus lainya sebagai bahan perbandingan hukum dalam negara ini, Isma Khaira seorang ibu yang dipenjarakan bersama bayi berusia 7 bulan dalam kasus menyebar video pertengkaran Keuchik Lhok Pu’uk (UU IT), seorang Nenek Kasminah usia 70 tahun dipenjara karena pertahankan tanah warisan suaminya dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang dianggap tidak adil.
Letak dari wibawah sebuah negara hukum tidak lagi berada pada sikap menaungi serta menjunjung tinggi supermasi hukum dengan tegak melainkan hukum didesain sebagai momok bagi rakyat jelata dan jalan kebahagiaan bagi para penguasa.
Tulisan ini sebagai refleksi dan telaah kajian ilmiah terhadap kehidupan bernegara yang menganut azas demokrasi dan pancasila.
Melalui mimbar kebebasan itulah sehingga sejarah mencatat bahwa negara Indonesia dimerdekakan oleh sebagian besar kaum intelektual kritis yang peduli terhadap keadilan hukum dan sosial.
Komentar
Posting Komentar